Created (c) by Muhammad Hanafi (DeeJayHan)

Cara membuat link berkedip dengan kerlipan bintang




kerlipan
Cara ini membolehkan link berkelip bila dihalakan cursor padanya.Disamping berkelip ia kan mengeluarkan kerlipan bintang disekeliling.Tidak menggunakan javascript,hanya gabungan css dan imej sahaja.Contohnya boleh dilihat pada blogini.Kalau berminat hendak membuatnya,berikut adalah langkahnya:


Klik pada Design
Edit HTML
Cari kod:
</head>
Dan letak kod ini diatasnya:
<style>
a:hover { text-decoration:blink; background:url(https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCQepH89ypezpc6UroNCmgF9Hl7A-Po5BPbKnXy-0MbZ8AoeVML8IiZa6MOizvXYacZnis4tKQEd8kjm7yoqQt1LWFDPBKMgOPXiZcFKO6T-lrc0U3s_ngi7jh9qBjZNtC1d9efHbpfX4/s1600/blink.gif); }
</style>


bintang berkelip














atau gunakan yang dibawah ini:





https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrieqdl1da6i_XncLHMeU-cnjRZngta3PcXr9Sjztw4Tjsi_WqmHlFwBK_0BSFUCEjQE26beyIAXkEinExBTB8O5Yo5yJyTTeOOV9SWgGibjzuvu8xzPk1WqqApZz0Hc8I_di0p_dIgIA/s1600/str4.gif
cuma tukarkan tulisan merah pada diatas dengan url bagi kerlipan seperti diatas 
#sesuai hanya untuk template berwarna gelap.


Simpan template…selesai..


Sumber...http://teknikbuatblog.blogspot.com

At-Tanaththu’, Persimpangan Menuju Kebinasaan


Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata:
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِيْ سُلَيْمَانُ بْنُ عَتِيقٍ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَلاَ هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ -ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.
Yahya berkata kepada kami: Ibnu Juraij berkata kepada kami: Sulaiman bin ‘Atiq berkata kepadaku, dari Thalq bin Habib, dari Al-Ahnaf bin Qais, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sungguh, celaka orang-orang yang melampaui batas!” tiga kali.

Takhrij Hadits
Al-Imam Ahmad meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam Al-Musnad (1/386).
Hadits ini shahih. Semua rawinya tsiqah (terpercaya), termasuk perawi-perawi Al-Bukhari dan Muslim dalam Ash-Shahihain, kecuali Sulaiman bin ‘Atiq dan Thalq bin Habib, keduanya hanya dikeluarkan oleh Muslim.
Yahya, yang disebut dengan muhmal1 adalah Yahya bin Sa’id bin Farrukh Al-Qaththan Al-Bashri Abu Sa’id, meninggal 198 H. Ibnu Hajar dalam At-Taqrib mengatakan: “Tsiqatun mutqinun hafizhun.”
Ibnu Juraij, sebutan masyhur bagi Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij Al-Umawi, meninggal 150 H. Beliau tsiqah tetapi terkenal sebagai rawi mudallis.2 Ibnu Hajar Al-Asqalani menggolongkannya dalam Thabaqatul Mudallisin pada golongan ketiga, yaitu rawi-rawi mudallis yang tidak bisa diterima riwayatnya kecuali jika terang-terangan mendengar hadits dari gurunya. Dan pada hadits di atas, Ibnu Juraij mendengar langsung dari gurunya dengan ucapannya: “Haddatsani (berkata kepadaku)” sehingga keberadaannya sebagai mudallis tidak membahayakan keabsahan hadits.
Sulaiman bin ‘Atiq Al-Madani, seorang tabi’in, murid dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.3 Ada pembicaraan tentangnya, tetapi tidak membahayakan dan tidak menurunkannya dari derajat hasan, insya Allah. An-Nasa’i mengatakan: “Tsiqah (terpercaya).” (Al-Jarh Wat-Ta’dil, 4/135)
Al-Imam Muslim mengeluarkan haditsnya dalam Ash-Shahih. Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib: “Shaduq (jujur).” (haditsnya hasan)
Thalq bin Habib Al-‘Anazi Al-Bashri, seorang tabi’in, meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, dan Abdullah bin Zubair g. Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Shaduqun fil hadits (jujur dalam hadits).” (Al-Jarh Wat-Ta’dil 4/490)
Ibnu Sa’d berkata: “Kana murjiyan tsiqatan (Dia seorang Murji’ah yang terpercaya).” (Ath-Thabaqat 7/227)
Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats-Tsiqat (4/396), dan Al-‘Ijli berkata: “Makkiyun tabi’iyyun tsiqatun (Seorang tabi’in dari Makkah yang terpercaya).” (Tarikh Ats-Tsiqat)
Al-Ahnaf bin Qais, Al-Ahnaf adalah laqab (julukan), adapun nama beliau adalah Adh-Dhahhak bin Qais bin Mu’awiyah bin Hushain, meninggal tahun 67 H. Termasuk pembesar tabi’in yang tsiqah, murid dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.4
Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya Kitab Al-’Ilmi (no. 2670), Abu Dawud As-Sijistani dalam As-Sunan, Kitab As-Sunnah Bab Luzumis Sunnah (no. 4608), Abu Ya’la Al-Mushili dalam Al-Musnad (no. 5004 dan 5242), dan At-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir, demikian pula Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Ash-Shamt (hal. 109).
Seluruhnya meriwayatkan hadits dari jalan Yahya bin Sa’id dari Ibnu Juraij.5
Al-Haitsami mengatakan dalam Majma’ Az-Zawa’id (10/251): “Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thabarani6 dan rawi-rawinya adalah perawi yang shahih.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud. Allahu a’lam.

Makna Hadits
Al-Khaththabi rahimahullahu menerangkan bahwa Al-Mutanath-thi’ (الْمُتَنَطِّعُ), adalah sebutan bagi orang yang berdalam-dalam dan memaksakan diri dalam membahas sesuatu. Serupa dengan metode ahli kalam (filsafat), mereka selalu membicarakan dan menyelami perkara yang tidak bermanfaat, serta menekuni apa yang akal-akal mereka tidak mampu mencapainya.7
Al-Mutanath-thi’un (لْمُتَنَطِّعُونَ) merupakan bentuk jamak dari kata (مُتَنَطِّعٌ). Secara bahasa mengandung makna berdalam-dalam ketika berbicara dan menampak-nampakkan kefasihan. Adapun maksud (tanaththu’ dalam hadits ini) adalah tindakan melampaui batas dalam berbicara, melampaui batas dalam ber-istidlal (mengambil dalil), dan melampaui batas dalam beribadah.8
Ibnul Atsir rahimahullahu dalam An-Nihayah mendefinisikan bahwa asal (لْمُتَنَطِّعُونَ) diambil dari kata (النَّطْعُ) yaitu rongga atas dari mulut. Kata ini kemudian digunakan untuk segala bentuk berdalam-dalam, baik pada ucapan maupun perbuatan.9
Pembaca rahimakumullah, larangan dan celaan dari sikap berlebih-lebihan terpapar gamblang dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai lafadz. Di antaranya ath-tanaththu’ sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Disebut pula dengan lafadz al-ithra’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُوْنِي كَمَا أَطَرَتْ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih (melampaui batas) dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih dalam memuji ‘Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”10
Disebut pula dengan lafadz al-ghuluw, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
“Jauhilah ghuluw, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian tidaklah mereka binasa kecuali karena ghuluw (melampaui batas) dalam agama.”11
Ketiga kata ini, Al-Ghuluw, Al-Ithra’, dan At-Tanaththu’ memiliki makna yang berdekatan, berserikat dalam sebuah makna yaitu melampaui batasan yang disyariatkan.12 Hanya saja Al-Ghuluw lebih umum, adapun Ath-Tanaththu’ merupakan bagian atau salah satu dari bentuk Al-Ghuluw.13
Pembaca rahimakumullah, kembali kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkataan beliau: “Sungguh, celaka orang-orang yang melampaui batas!”, sabda ini berisi kabar sekaligus doa kebinasaan bagi kaum yang melampaui batas.
Dipahami pula dari hadits adanya kewajiban bagi kita untuk berjalan di atas jalan lurus yang jauh dari tanaththu’. Jalan yang dimaksud adalah jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَومًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سَبِيلُ اللهِ. ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ: هذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيطَانٌ يَدْعُو إِلَيهِ. ثُمَّ تَلاَ: ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggoreskan sebuah garis untuk kami, lalu bersabda: “Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanan dan kirinya kemudian bersabda: “Adapun garis-garis ini adalah jalan-jalan, pada masing-masing jalan ada setan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Al-An’am: 153)14
Jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya jalan yang adil. Satu-satunya jalan pertengahan yang terbebas dari segala bentuk penyimpangan dan sikap melampaui batas.
Meskipun jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tampak benderang sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun banyaknya persimpangan kesesatan yang diserukan iblis dan pengikutnya benar-benar menakutkan, kecuali bagi mereka yang mendapat taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pergulatan hebat antara manusia dan iblis dalam menempuh jalan yang lurus itu pun harus terjadi sesuai dengan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbul ‘alamin.
At-Tanaththu’ adalah bagian dari persimpangan-persimpangan. Sejarah anak manusia mencatat bahwa melalui pintu ini iblis berhasil menyesatkan ribuan kaum dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kaki-kaki pun bergeser dari Shirath Al-Mustaqim lalu tumbang binasa sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلاَ هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
“Sungguh, celaka orang-orang yang melampaui batas!”
Lihatlah apa yang menimpa kaum Nuh dahulu. Renungkan pula sebab kesesatan Qadariyyah, Jabriyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, falasifah (filosof, ahli kalam), Khawarij, Haddadiyyah, dan firqah-firqah lainnya. Sebuah kesimpulan terucap dari lisan sejarah bahwa: “Tidaklah mereka menyimpang dari syariat kecuali karena mereka menapakkan kakinya di atas jalan tanaththu’, persimpangan kebinasaan.”

At-Tanaththu’ Terjadi Pada Pembicaraan, Istidlal, dan Ibadah
Penyakit At-Tanaththu’ menjangkit pada pembicaraan sebagaimana penyimpangan ini masuk dalam pengambilan dalil (istidlal) dan ibadah.15 Dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, marilah sejenak kita melihat beberapa contoh jenis-jenis tanaththu’ tersebut.
Pertama: tanaththu’ dalam pembicaraan. Gejala orang yang terjatuh pada tanaththu’ jenis ini tampak pada pembicaraannya yang sering menggunakan istilah-istilah asing atau bahasa-bahasa tinggi yang tidak bisa dipahami khalayak. Dia juga terbiasa membahas tema-tema yang masyarakat tidak mampu mencernanya. Tujuan mereka tidak lain sekadar menampakkan keterpelajarannya, membanggakan tingkat pemahaman, atau menampakkan dirinya sebagai sosok orator ulung dan ahli bahasa.
An-Nawawi rahimahullahu menarik satu faedah dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang dibencinya bicara dengan dibuat-buat atau memaksakan diri (takalluf) memoles kefasihan lisannya, atau menggunakan kalimat-kalimat asing dan i’rab (tata bahasa) yang mendetail saat berbicara dengan orang awam. Semua itu termasuk jenis tanaththu’ dalam pembicaraan. Demikian keterangan beliau dalam Syarah Shahih Muslim.
Mereka tidak menyadari, sesungguhnya masyarakat sangat memerlukan keterangan yang jelas tentang aqidah, ibadah, dan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan malah dijejali tema yang jauh dari kebutuhan atau di luar jangkauan akal dan pemahaman.
Sangat mengherankan ketika seorang da’i sibuk membicarakan urusan politik di tengah masyarakat awam, mengoceh urusan negara, perkembangan dunia internasional, perkembangan media masa, atau perkara-perkara lainnya yang masyarakat tidak memahami atau tidak mengambil faedah darinya, bahkan mungkin tidak membutuhkannya sama sekali. Sementara masalah pokok agama terkait dengan aqidah, ibadah, dan mu’amalah tidak disentuh.
Subhanallah! Apa akibatnya? Tidak diragukan lagi, kaum muslimin tetap buta dalam agamanya, tidak mengerti tauhid, tidak bisa tata cara wudhu, tayammum, dan mandi wajib yang benar sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seterusnya dari perkara agama yang wajib diketahui.
Keberadaan mereka –ahli tanaththu’– hanyalah pembakar api fitnah di tengah umat ini. Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah nasihatnya yang sangat indah berkata:
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُرِيدُونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُولُهُ؟
“Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan (karena kalian berbicara dengan apa yang tidak dipahami)?”16
Termasuk tanaththu’ dalam berbicara adalah berkata tanpa ilmu, memaksakan diri (takalluf) membahas, atau menjawab perkara yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya. Juga bertanya-tanya dengan pertanyaan yang melampaui batas syariat, dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan tidak pernah salaf umat ini menanyakannya.17
Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullahu (373-449 H), menerangkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berdalam-dalam serta melampaui batas dari batas yang diizinkan tidaklah muncul kecuali dari mereka, orang-orang yang suka bertanaththu’. Mereka membuat kebid’ahan-kebid’ahan dan membahas perkara yang tidak boleh dibahas. Mereka juga mendiskusikan apa yang ulama Islam dan salaf (pendahulu) umat ini tidak pernah membicarakannya.18
Kedua: Tanaththu’ dalam mengambil dalil (istidlal). Gejala tanaththu’ jenis ini adalah mengabaikan atau meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai dalil.
Ahlu kalam (filsafat/manthiq) dan yang sejenisnya menempuh jalan ini. Akal dan perasaan lebih mereka kedepankan. Yang dijadikan dalil justru kaidah-kaidah filsafat yang berasal dari filsafat Yunani. Bukan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Sederet tokoh filsafat yang menjadi pijakan berpikir pun dipasang dalam kerangka otak-otak mereka yang berpenyakit, seperti Aristoteles, Plato, dan sejenisnya. Kata mereka: “Dalil-dalil sam’i (Al-Kitab dan As-Sunnah) tidak memberikan keyakinan, keyakinan itu hanya didapatkan pada dalil-dalil ‘aqli (akal/rasio).” Apa yang masuk akal itulah yang diyakini, adapun perkara yang menurut mereka tidak masuk akal meskipun dari Al-Kitab dan As-Sunnah secara otomatis tumbang di depan teori-teori filsafat yang mereka agungkan.
Tidakkah mereka paham bahwa agama ini bukan dibangun di atas akal manusia? Ketahuilah bahwa agama ini dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, bukan akal dan perasaan! Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَو كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيتُ رَسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيهِ
“Seandainya agama dibangun di atas akal tentulah bagian bawah dari khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas dua khufnya.”19
Melalui ilmu kalam mereka binasa, hati membatu, pendengaran tersumbat, ayat-ayat Al-Qur’an hanya dijadikan sebagai referensi sekunder. Itupun dalam pengawasan teori-teori manusia.
Tidakkah mereka mengambil pelajaran dari tokoh-tokoh besar filsafat dan ilmu kalam? Semakin lama mereka menekuni filsafat justru makin jauh menuju kesesatan dan kebingungan. Bahkan mereka telah menyimpulkan bahwa ilmu kalam tidaklah menambah kecuali kebingungan dan jauhnya dari al-haq.
Ketiga: Tanaththu’ dalam ibadah, yaitu seseorang melampaui batasan yang disyariatkan dalam ibadahnya baik dalam jenis, tata cara, ukuran, waktu atau tempat, atau batasan lain yang ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Peringatan Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari At-Tanaththu’
Para sahabat bergegas mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menjadi generasi terbaik. Mereka bergegas menempuh jalan pertengahan (wasath) dan meninggalkan segala bentuk tanaththu’. Manhaj tersebut tampak dalam sikap dan pengamalan, baik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sesudahnya. Sejarah pun mengukir kekokohan generasi ini dalam berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma murka dan berlepas diri ketika mendengar munculnya kaum yang mengingkari takdir. Beliau berkata:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيئٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبدُ اللهِ ابْنُ عُمَرَ لَو أَنَّ لَأَحَدِهِمْ مثِْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Jika engkau berjumpa dengan mereka kabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan–Nya, seandainya mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, mereka infakkan, Allah tidak akan menerimanya hingga mereka beriman dengan takdir.”20
Adalah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau jumpai sekelompok manusia berkumpul di masjid dalam halaqah (lingkaran). Masing-masing mereka memegang kerikil-kerikil, sementara di tengah mereka duduk seorang mengatakan: “Bertasbihlah kalian seratus (kali)!”, “Bertahlillah seratus (kali)!”, “Bertakbirlah seratus (kali)!”. Dengan kerikil-kerikil itu mulailah mereka menghitung zikir (bersama-sama/berjamaah). Maka berdirilah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengingkari seraya berkata: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdurrahman (kunyah Ibnu Mas’ud, red.), kami menghitung takbir, tasbih, dan tahlil dengan kerikil-kerikil ini.”
Berkatalah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan kalian tidak disia-siakan sedikitpun. Wahai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam betapa celakanya kalian. Betapa cepatnya kehancuran kalian. (Bukankah) sahabat Nabi kalian masih banyak dan pakaian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum lagi hancur. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah sesungguhnya yang kalian lakukan ini berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian (memang) telah membuka pintu-pintu kesesatan!?” Mereka menjawab: “Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman. Tidaklah yang kami inginkan melainkan kebaikan!” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Betapa banyak orang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya.”21
Allahu Akbar! Lihatlah pembaca rahimakumullah, kecemburuan sahabat saat melihat syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala disimpangkan dan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilampaui batasan-batasannya. Bahkan bila dipandang perlu atau memberikan maslahat, sahabat memberikan hukuman pada orang-orang yang bertanaththu’ dalam ucapan dan perbuatan, melampaui batas dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan. Sebagaimana dilakukan Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, kepada Shabigh At-Tamimi, karena ulahnya yang selalu bertanya-tanya dan berdalam-dalam pada perkara-perkara yang tidak boleh dibicarakan dan salaf tidak pernah membahasnya.
Al-Imam Ad-Darimi dalam Sunan-nya meriwayatkan atsar dari gurunya Abu An-Nu’man –Muhammad bin Al-Fadhl–, dari Hammad bin Zaid, dari Yazid bin Hazim, dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata: “Seorang bernama Shabigh datang ke Madinah. Dia (dikenal suka) banyak bertanya-tanya ayat-ayat mutasyabih (samar) dalam Al-Qur’an (menghendaki fitnah dengan pertanyaannya, -pen.). Dibawalah dia ke hadapan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang telah menyiapkan beberapa manggar dari pohon kurma. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Siapa kamu?” Dia menjawab: “Saya hamba Allah, Shabigh.” Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu ambil manggar kemudian dipukullah Shabigh seraya berkata: “Aku hamba Allah, ‘Umar.” Beliau memukulnya hingga kepala Shabigh berdarah. Lalu dia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, cukup. Sungguh telah pergi apa yang dulu aku dapatkan di kepalaku.”22
Demikian beberapa riwayat yang menunjukkan sikap sahabat dan kekokohan jalan mereka dalam menempuh kehidupan sesuai dengan jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memerangi segala bentuk tanaththu’ dan penyimpangan agama.
Para sahabat, dengan segala kesungguhan berusaha menutup semua celah sikap tanaththu’, baik dengan lisan atau perbuatan. Mereka pun berpesan kepada umat ini agar selalu kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, mengajak umat memberikan perhatian pada ilmu syariat sebagai benteng dari sikap tanaththu’ serta segala bentuk ghuluw dan perkara yang diada-adakan.
Dalam sebuah wasiatnya, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
عَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ وَقَبْضُهُ أَنْ يَذْهَبَ بِأَصْحَابِهِ، عَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَتَى نَفْتَقِرُ إِلَيْهِ أَوْ نَفْتَقِرُ مَا عِنْدَهُ، إِنَّكُمْ سَتَجِدُونَ أَقْوَاماً يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ يَدْعُونَكُمْ إِلَى كِتَابِ اللهِ وَقَدْ نَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ فَعَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ وَإِيَّاكُمْ وَالتَّبَدُّعَ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَطُّعَ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّعَمُّقَ وَعَلَيْكُمْ بِالْعَتِيقِ
“Tuntutlah ilmu (Al-Kitab dan As-Sunnah), sebelum dicabut. Dan tercabutnya ilmu adalah dengan diwafatkannya ulama. Tuntutlah selalu ilmu, karena salah seorang di antara kalian tidak tahu kapan kita membutuhkannya atau kita butuhkan apa yang ada padanya. Sungguh kalian akan jumpai kaum yang banyak, mereka mengaku menyeru kalian kepada Al-Kitab, padahal ternyata mereka telah melempar (Al-Kitab) di belakang punggung-punggung mereka. Maka wajib atas kalian menuntut ilmu dan berpegang kepadanya, dan tinggalkanlah perkara yang diada-adakan (bid’ah) tinggalkan pula At-Tanaththu’, At-Ta’ammuq, dan berpegang teguhlah dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”23
Nasihat yang indah. Duhai seandainya seluruh kaum muslimin memegang nasihat ini dan mengamalkannya, niscaya kejayaaan umat –yang telah dijanjikan– dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala segera terwujud.

Peringatan Ahlu Hadits dari At-Tanaththu’
Jejak sahabat dalam menempuh jalan pertengahan dan tekad bulat meninggalkan tanaththu’ diikuti generasi terbaik berikutnya dari kalangan tabi’in, atba’ut tabi’in, dan ahlu hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Al-Imam Malik rahimahullahu, adalah contoh dari salaful ummah yang demikian teguh menanamkan ittiba’ kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat, sekaligus sosok ulama yang tegas dalam memerangi tanaththu’. Suatu saat beliau membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman di atas ‘Arsy beristiwa’.” (Thaha: 5)
Seseorang bertanya: “Wahai Malik, bagaimana cara Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa’?”
Mendengar pertanyaan seperti ini –yang tidak boleh untuk ditanyakan– menunduklah Al-Imam Malik. Merah padamlah mukanya, gemetarlah badannya, bercucuranlah keringatnya. Lalu beliau angkat kepala seraya mengucapkan kalimat yang sangat masyhur:
الْاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْلُومٍ، وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ
“Al-Istiwa tidaklah asing (maknanya)24, adapun bagaimana istiwa’-Nya tidak diketahui. Dan mengimani sifat ini wajib, adapun menanyakan tentang (bagaimananya) adalah bid’ah, dan aku tidak dapati engkau kecuali seorang yang sesat.”
Kemudian Al-Imam Malik rahimahullahu memerintahkan agar mengeluarkan orang ini dari majelisnya.25
Disebutkan dalam sebuah atsar, suatu saat Yazid bin Harun rahimahullahu –salah seorang ulama ahlul hadits–26 di majelisnya meriwayatkan hadits Isma’il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari sahabat Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, tentang ru’yah (melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَى رَبِّكُمْ كَمَا تَنْظُرُونَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ
“Sungguh kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian (bisa) melihat bulan di malam purnama.”27
Seorang lelaki di majelis bertanya: “Wahai Abu Khalid (kunyah Yazid bin Harun, red.), apa makna hadits ini?” (meminta rincian bagaimana melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, pen.).
Marahlah Yazid, gemetarlah ia, lalu berkata: “Betapa miripnya kau dengan Shabigh (lihat penjelasan sebelumnya, red.). Betapa butuhnya kau diperlakukan seperti Shabigh! Celaka engkau! Siapa yang mengetahui bagaimana (kita melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala nanti)? Siapa yang dibolehkan untuk melampaui batas dari ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Siapa pula yang boleh berbicara sekehendaknya, melainkan seorang yang menghinakan diri dan agamanya?”28
Demikian pembaca rahimakumullah, beberapa riwayat tentang keteguhan salaf berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jauh dari tanaththu’. Semoga kita diselamatkan dari segala jenis tanaththu’. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan umat ini, lebih khusus lagi shaf-shaf Ahlus Sunnah dari ahli tanaththu’ yang keberadaan mereka tidak lain hanya menyulut api fitnah dan mencabik persatuan umat. Berpeganglah dengan tali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan janganlah bercerai-berai. Bersatulah di atas Al-Kitab dan As-Sunnah untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7)
Wallahu a’lam.

1 Muhmal dalam ilmu musthalah hadits adalah penyebutan rawi tanpa menyebutkan nasabnya.
2 Tadlis adalah menyembunyikan riwayat yang terputus seakan-akan bersambung. Di antara buku bagus yang menyebutkan rawi-rawi yang biasa melakukan tadlis adalah kitab Jami’u At-Ta’shil fi Ahkamil Marasil karya Al-‘Ala’i rahimahullahu dan Maratibul Mudallisin karya Ibnu Hajar rahimahullahu.
3 Di antara hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Sulaiman bin ‘Atiq rahimahullahu adalah apa yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya no. 1554:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِوَضْعِ الْجَوَائِحِ
4 Faedah: Lathaiful Isnad (keunikan sanad): Pada hadits di atas ada riwayat tiga orang tabi’in, Sulaiman bin ‘Atiq dari Thalq bin Habib, dari Al-Ahnaf bin Qais rahimahumullah.
5 Hafsh bin Ghiyats mengikuti Yahya bin Sa’id dalam meriwayatkan hadits dari Ibnu Juraij, sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim no. 2670, Abu Ya’la Al-Mushili dalam Al-Musnad no. 5007, dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3396.
6 Faedah: Jika dikatakan hadits ini diriwayatkan Ath-Thabarani tanpa ada keterangan di kitab apa, maka yang dimaksud adalah dalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Kabir.
7 Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh menukil ucapan Al-Khaththabi dalam Fathul Majid (270-271) dari Ma’alimus Sunan.
8 I’anatul Mustafid Bi Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Dr. Shalih Fauzan (1/278).
9 An-Nihayah fi Gharibil Hadits karya Ibnul Atsir (5/63).
10 HR. Al-Bukhari no. 3445, 6830 dan Muslim no. 1691 dalam Shahih keduanya.
11 Shahih, diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad (1/215, 347), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/466), Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra (5/127), dan Ibnu Majah dalam As-Sunan no. 3029.
12 At-Tamhid Lisyarhi Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hal. 247
13 Al-Qaulul Mufid (1/321) karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
14 Diriwayatkan Ad-Darimi dalam As-Sunan no. 208 (cet. Darul Ma’rifah)
15 Lihat I’anatul Mustafid Bi Syarh Kitabit Tauhid (1/278-280) karya Asy-Syaikh Dr. Shalih Fauzan.
16 Diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya Kitabul ‘Ilmi no. 127
17 Seperti bertanya tentang hakikat bagaimana (kaifiyah) sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
18 Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits hal 34, tahqiq Badr Al-Badr.
Faedah: Al-Imam Ad-Darimi membuat satu bab khusus dalam As-Sunan, Bab Man Haaba Al-Futya wa Kariha At-Tanaththu’ wa At-Tabaddu’ (Orang yang takut berfatwa serta membenci tanaththu’ dan kebid’ahan) hal. 67-72 (cet. Daarul Ma’rifah) meriwayatkan beberapa atsar yang menunjukkan bagaimana salaf berhenti mencukupkan diri pada batasan syariat dan tidak melewati apa yang mereka tidak ketahui. Mereka selalu berhati-hati dalam berbicara atau berfatwa dalam masalah agama. Yang ada di depan mata mereka adalah tanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan celaan atau sanjungan manusia.
19 Shahih, diriwayatkan Abu Dawud dalam As-Sunan no. 162, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain.
20 Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya, hadits yang pertama dari kitab yang pertama, Kitabul Iman (1/36).
21 Shahih, diriwayatkan Ad-Darimi dalam As-Sunan dan disebutkan Al-Albani dalam Silsilah As-Sahihah no. 2005.
22 Diriwayatkan Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 146 (cet. Darul Ma’rifah), Al-Ajurri hal. 73, dan Al-Lalikai no. 1138. Sanad riwayat ini munqathi’ antara Sulaiman bin Yasar dan ‘Umar bin Al-Khaththab. Kisah Shabigh disebutkan pula Abu ‘Utsman Ash-Shabuni dalam ‘Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits. Lihat hal. 66-69.
23 Sunan Ad-Darimi (1/66 no. 143), Al-Ibanah (1/324 no. 169), dan Ushul I’tiqad Al-Lalikai (1/87 no. 108).
24 Makna Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tinggi di atas ‘Arsy-Nya.
25 Lihat atsar Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits hal. 38-40, tahqiq Badr Al-Badr.
Faedah: Perkataan semisal diucapkan pula oleh ulama-ulama seperti Rabi’ah Ar-Rai dan Abu Ja’far At-Tirmidzi rahimahumallah. Dinisbatkan pula kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, akan tetapi riwayatnya lemah. Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (5/365): “Jawaban ini diriwayatkan pula dari Ummu Salamah secara marfu’ dan mauquf, akan tetapi sanadnya tidak bisa dijadikan sandaran (lemah, pen.).”
26 Yazid bin Harun bin Za-dzan Abu Khalid Al-Wasithi rahimahullahu. Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan dalam At-Taqrib: “Tsiqatun Mutqin.” Haditsnya diriwayatkan penulis Kutubus Sittah (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
27 Hadits ru’yatullah tergolong hadits mutawatir. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan riwayat-riwayat tentang ru’yatullah di akhir-akhir kitabnya Hadil Arwah ila Biladil Afrah.
28 Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (1/408-411), Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah hal. 258, Al-Baghawi dalam Tafsir-nya (4/232), dan Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (16/133).

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=786

Islam Syariat Semesta Alam


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنَّهُ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! Tidaklah mendengar tentangku (diutusnya aku) seorangpun dari umat ini, baik ia seorang Yahudi maupun Nashrani, kemudian ia mati dan belum beriman dengan apa yang aku bawa (Syari’at Islam) melainkan ia termasuk penghuni neraka.” HR. Muslim

Pembaca yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, kali ini kita akan mengkaji sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting darinya. Sebuah hadits sahih, yang tidak ada keraguan padanya karena telah diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahih-nya; tepatnya pada bab “Wajibnya Beriman kepada Risalah Nabi Kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bagi Seluruh Manusia dan Terhapusnya Agama-agama dengan Agamanya”. Dari shahabat yang mulia Penghafal Islam Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, semoga Allah meridhainya.

Hadits ini adalah salah satu hadits dari hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berbicara tentang salah satu prinsip utama dalam Islam, yaitu wajibnya beriman kepada risalah yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bahwa risalah beliau shallallahu alaihi wa sallam berlaku secara umum. Hal ini merupakan perwujudan syahadah (persaksian) bahwa Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala.

Keumuman Risalah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam

Pembaca yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dalam hadits yang mulia ini terdapat sebuah berita dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mengandung peringatan dan ancaman sebagai penghuni neraka kepada mereka yang tidak mau beriman serta tunduk kepada syari’at Islam yang dibawa oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan paham dan mengerti bahwa apa yang dibawa oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah haq (kebenaran). Baik mereka dari kalangan umat Islam itu sendiri, atau dari selain umat Islam seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, dan yang lainnya. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam kita diutus kepada seluruh umat dan syariatnya berlaku bagi seluruh manusia tanpa terkecuali, apakah itu bangsa Arab atau (non-Arab), berkulit putih, hitam, atau merah dari kalangan budak atau yang merdeka. Demikian pula berlaku kepada umat-umat yang beragama dengan syariat para nabi terdahulu, sebagaimana dalam hadits ini. Lebih dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan (artinya):

“Katakanlah, (wahai Muhammad), wahai sekalian manusia, sungguh aku adalah utusan Allah kepada kalian semuanya.” (Al-A’raf: 158)

Dalam sabdanya yang lain Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan:

كَانَ النَّبِىُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً

“Sesungguhnya para rasul sebelumku diutus hanya kepada kaum mereka semata, sedangkan aku diutus kepada manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

Bahkan keumuman risalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam kita tidak hanya kepada manusia semata akan tetapi meliputi golongan jin juga, sebagaimana dijelaskan para ulama berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah (Al Hadits).

Berkata Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah: “Allah telah mengutusnya (Muhammad shallallahu alaihi wa sallam) kepada seluruh manusia dan mewajibkan ketaatan kepada Beliau shallallahu alaihi wa sallam bagi seluruh ats-tsaqolain (jin dan manusia).” (Lihat Tsalatsatul Ushul)

Juga Al-Imam Ath-Thohawi rahimahullah berkata: “Dan Beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang nabi yang diutus kepada seluruh bangsa jin dan manusia dengan kebenaran dan petunjuk, serta pelita dan cahaya.” (Lihat ‘Aqidah Ath-Thohawiyyah)

Bantahan Syubhat bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam hanya diutus kepada bangsa Arab

Dari penjelasan di atas terbantahlah sebuah syubhat (kerancuan berpikir, red) yang dilontarkan oleh sebuah kelompok/aliran dari kaum Nashara bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam hanya diutus kepada bangsa Arab saja, sehingga mereka mengingkari kenabian beliau shallallahu alaihi wa sallam kepada selain bangsa Arab. Maka ini sesungguhnya kekufuran yang nyata kepada Allah subhanahu wa ta’ala sekaligus pendustaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan dalil-dalil yang pasti dan jelas tentang keumuman risalah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Padahal kalau mereka (kaum Nashara) mau jujur bahwasanya berita tentang akan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai Rasul yang terakhir telah termaktub dalam kitab mereka Injil, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan ucapan Nabi Isa ‘alaihis salam sebagaimana dalam ayat-Nya (artinya):

“Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.”" (Ash-Shoff: 6)

Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Dia adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththolib, seorang nabi dari Bani Hasyim.” (Lihat Tafsir As-Sa’di, pada tafsir surat Ash-Shoff ayat ke-6, karya Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah).

Allah telah mengabarkan bahwa mereka (Yahudi dan Nashara) benar-benar mengenal Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)

Lebih dari itu, telah disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam akan turun ke bumi pada akhir zaman, dan akan menghapus agama Nashrani, serta berhukum dengan syari’at Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda :

وَالَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ -صلى الله عليه وسلم- حَكَمًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ وَيَفِيضَ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! sungguh telah dekat (waktu) turunnya Isa bin Maryam kepada kalian sebagai hakim yang adil, akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan tidak menerima jizyah/upeti. Dan (saat itu) harta berlimpah ruah sehingga tidak ada seorangpun yang mau menerimanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam “menghancurkan salib dan membunuh babi” berkata: “Yakni benar-benar akan menghapus agama Nashraniyah dengan menghancurkan salib dan menghilangkan keyakinan orang-orang Nashara dalam pengultusan Beliau (Nabi Isa) ‘alaihis salam.” (Lihat Fathul Bari, Kitab Ahadits Al-Anbiya`, Bab Nuzul ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam). Dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim dengan lafazh:

وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ : قَالَ ابْنُ أَبِى ذِئْبٍ تَدْرِى مَا أَمَّكُمْ مِنْكُمْ قُلْتُ تُخْبِرُنِى. قَالَ فَأَمَّكُمْ بِكِتَابِ رَبِّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم-.

“Dan ia (Nabi Isa bin Maryam) pemimpin bagi kalian.”

Ibnu Abi Dzi’b (perawi hadits) berkata: “Tahukah kamu dengan apa dia memimpin kalian?” Aku berkata (muridnya Ibnu Abi Dzi’b): “Beritahukanlah kepadaku!” Maka ia menjawab: “Dengan Al-Qur`an dan Sunnah (ajaran) Nabi kalian.”

Oleh karena itu, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah meletakkan sebuah bab dalam Shahih Muslim dengan judul:

Bab Penjelasan tentang Turunnya Nabi Isa bin Maryam ‘alaihis salam (di akhir zaman sebagai hakim) berdasarkan syari’at Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Nabi Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 159)

Al-Imam Ibnu Jarir rahimahullah meriwayatkan sebuah atsar (perkataan shahabat) dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Demi Allah! Sesungguhnya dia (Isa bin Maryam ‘alaihis salam) sekarang masih hidup. Tetapi jika ia turun (ke bumi), maka mereka semuanya (Yahudi dan Nashara) akan beriman kepadanya.” (Fathul Bari, Kitab Ahadits Al-Anbiya`, Bab Nuradhiyallahu ‘anhuul ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam)

Dari beberapa hadits di atas, kita mengetahui bahwa syariat beliau shallallahu alaihi wa sallam berlaku bagi seluruh umat dan suku bangsa, dan syariat beliau berlaku sepanjang zaman, dari zaman ketika beliau diutus sampai akhir zaman (hari kiamat). Di antara dalil yang menunjukkan bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallahu alaihi wa sallam juga berlaku bagi seluruh umat ialah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Seandainya Nabi Musa ‘alaihis salam hidup, maka tidak boleh baginya kecuali mengikuti (syariat)ku .”

Maka sangat batil ucapan yang menyatakan bahwa sebagian syariat Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallahu alaihi wa sallam hanya cocok di masa dahulu ketika Beliau shallallahu alaihi wa sallam hidup. Adapun pada masa ini perlu adanya revisi atau kaji ulang agar lebih sesuai dengan zaman dan memberikan maslahah (kebaikan, red) kepada umat.

Karena secara tidak langsung orang yang mengucapkan ucapan ini telah menghukumi bahwa syariat Islam tidak relevan dengan zaman dan tidak berlaku secara umum. Dan hal ini tentunya bertentangan dengan dalil-dalil yang telah kita sebutkan serta penjelasan-penjelasan para ulama. Dan orang yang seperti ini benar-benar telah mencela Allah subhanahu wa ta’ala, karena konsekuensi dari ucapan tersebut (yang pada hakekatnya adalah syubhat) bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui apa yang terjadi pada masa ini. Subhanallahi ‘amma yaqulun! (Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan).

Sungguh hal ini adalah sikap lancang dan berani kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita berlindung kepada-Nya dari sikap yang seperti ini.

Kewajiban Tunduk dan Taat kepada Syari’at Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam

Dengan demikian, maka wajib bagi orang-orang Yahudi dan Nashara, untuk beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, serta tunduk dan taat kepada syari’at beliau shallallahu alaihi wa sallam jika mereka menginginkan keselamatan di akhirat kelak, dan jika mereka mengaku sebagai pengikut Nabi Musa dan Isa ‘alaihumas salam, serta mengklaim bahwa mereka berpegang kepada Taurat dan Injil yang telah Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada kedua Nabi yang mulia tersebut.

Terkhusus pula bagi kaum muslimin, wajib untuk benar-benar beriman kepada syariat Nabi mereka secara kaffah (menyeluruh, red) dalam qalbu (hati)nya, diucapkan dengan lisan, kemudian dibuktikan dengan amal perbuatan. Dan juga senantiasa mengagungkan syariat Islam dengan cara mempelajari dan memahaminya, kemudian mengamalkan dalam kehidupannya. Bukan sebatas pemanis bibir dengan hanya meneriakkannya di jalan-jalan, mimbar-mimbar, atau dalam sebuah karya tulis, majalah, buletin, dan yang semisalnya tentang penerapan Syari’at Islam namun samasekali tidak ada perwujudannya, baik dalam sekup kecil dirinya dan keluarganya, apalagi dalam tatanan negara. Sebagaimana peribahasa: ‘Jauh panggang dari api’, tindakan mereka tidak sesuai dengan maksudnya. Oleh karena itu, tidak ada jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam secara kaffah (menyeluruh). Jangan sampai menjadi seperti sebuah ungkapan:

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا

إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِيْ عَلَى الْيَبَسِ

“Anda menginginkan keselamatan, namun Anda tidak menempuh jalan-jalannya.

Sesungguhnya bahtera tidak akan pernah bisa berlayar di atas (tempat) yang kering.”

Wallahul Muwaffiq.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=563#more-563

Meraih Ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.”

Takhrij Hadits
Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam As-Sunan, Kitab Al-Birr Wash-shilah Bab Ma Ja`a Fi Haqqil Jiwar (1/353) no. 1944, Ad-Darimi dalam As-Sunan (2/215) no. 2441, Ibnu Hibban dalam Ash-Shahih no. 518 dan 519, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/101) dan (4/164), Ahmad bin Hanbal dalam Al-Musnad (2/167-168), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad Bab Khairul Jiran no. 115, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 9541, dan Ibnu Bisyran dalam Al-’Amali (1/143).
Hadits di atas berasal dari jalan Haiwah bin Syuraih dan Ibnu Lahi’ah, keduanya dari Syurahbil bin Syarik, dari Abu Abdirrahman Al-Hubuli, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash1 radhiyallahu ‘anahu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui dua perawi ini2 semua meriwayatkan hadits Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anahu, kecuali At-Tirmidzi, Al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Mereka hanya menyebutkan Haiwah bin Syuraih tanpa menyertakan Ibnu Lahi’ah.
Hadits ini shahih, wallahu a’lam. Adapun kelemahan pada Ibnu Lahi’ah, tidak membahayakan karena dia meriwayatkan bersama Haiwah bin Syuraih At-Tamimi Al-Mishri.3 Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Demikian pula Ibnu Bisyran menshahihkannya, dan dihasankan oleh At-Tirmidzi rahimahumullah.
Al-Hakim An-Naisaburi berkata: “Shahih ‘ala syarthi Asy-Syaikhain (Hadits ini shahih sesuai syarat dua Syaikh, yakni Al-Bukhari dan Muslim).”4
At-Tirmidzi berkata: “Haditsun hasanun gharib (Hadits ini hasan gharib).”
Ibnu Bisyran5 berkata: “Haditsun shahihun wa isnaduhu kulluhum tsiqat (Hadits ini shahih dan sanadnya semuanya rawi-rawi tepercaya).”
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Ash-Shahihah (1/211) no. 103.

Islam Mengatur Adab Bertetangga
Sebagai makhluk sosial, mustahil bagi kita hidup menyendiri tanpa tetangga atau orang lain. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita saling membantu di atas kebaikan dan takwa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma`idah: 2)
Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu yang ada di hadapan kita, adalah sekian dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan seorang muslim dalam berakhlak dan bermuamalah dengan tetangganya.6
Tetangga adalah orang terdekat dalam kehidupan. Tidaklah seseorang keluar dari rumah melainkan dia lewati tetangganya. Di saat dirinya membutuhkan bantuan, tetanggalah orang pertama yang dia ketuk pintunya. Bahkan di saat dia meninggal bukan kerabat jauh yang diharapkan mengurus dirinya, tetapi tetanggalah yang dengan tulus bersegera menyelenggarakan pengurusan jenazahnya.
Begitu penting dan mulianya tetangga, Islam datang mengajarkan adab-adab bertetangga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Cukuplah ayat ini sebagai hujah atas manusia untuk mereka selalu berbuat baik dan berakhlak mulia kepada tetangga.
Pembaca rahimakumulah, sejenak kita simak beberapa faedah dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk berbuat baik kepada tetangga dengan segala bentuk kebaikan.
Sabda ini juga memberikan faedah bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam berbuat baik kepada tetangga. Semakin baik seseorang kepada tetangga, semakin mulia dan tinggi pula derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hadits ini ada isyarat yang sangat lembut untuk berlomba dalam berbuat baik kepada tetangga agar menjadi yang terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah dunia, di atas kefanaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan dia sebagai ladang beramal dan berlomba meraih kedekatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-Ma`idah: 35)
Bagaimana Berbuat dan Berakhlak Baik pada Tetangga?
Pertanyaan yang penting ini tidaklah terjawab kecuali dengan menapaki perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai teladan terbaik dalam segala sisi kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
 
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Ayat ini adalah kaidah dalam kita mengarungi samudera kehidupan termasuk di dalamnya hidup bertetangga.
Pembaca rahimakumullah, seorang dikatakan berbuat baik dan memiliki adab mulia kepada tetangga jika dia wujudkan dua pokok penting, yang keduanya ditunjukkan dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama: Menahan diri dari segala bentuk kezaliman dan perkara yang mendatangkan mudarat kepada tetangga.
Kedua: Berbuat baik dan menempuh segala sebab syar’i yang mendatangkan kebaikan bagi tetangga.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah berkata: “Hak tetangga adalah hak-hak yang sangat ditekankan atas tetangganya. Hadits-hadits telah datang begitu banyak, memberi dorongan untuk memuliakan tetangga sekaligus mengancam dari menyakiti tetangga atau menimpakan kemudaratan kepadanya… Memuliakan tetangga terwujud dengan menyampaikan kebaikan kepada mereka dan selamatnya mereka dari kejelekannya.” (diringkas dari risalah Fathu Al-Qawiyyil Matin Fi Syarhil Arba’in Wa Tatimmatil Khamsin, hal. 62-63)

Meninggalkan Segala Bentuk Kezaliman dan Perkara yang Memudaratkan Tetangga
Pembaca, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kita, pokok pertama ini ditunjukkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْآخِرْ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
 
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia sakiti tetangganya.”7
Jeleknya hubungan bertetangga sering kita saksikan, terlebih di akhir zaman di tengah rusaknya agama dan tatanan kehidupan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hal tersebut adalah satu dari sekian banyak tanda dekatnya hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّفَاحُشُ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَسُوْءُ الْمُجَاوَرَةِ
 
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga tampak perzinaan, perbuatan-perbuatan keji, pemutusan silaturrahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.”8
Apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan benar-benar menjadi kenyataan. Perzinaan mewabah bahkan dilegalkan. Manusia berlomba saling menjatuhkan dan memutus tali kekerabatan. Rusaknya hubungan bertetangga dan jeleknya muamalah di antara mereka pun terwujud dan tampak nyata.
Seseorang tidak lagi mengenal tetangga yang hanya berbatas tembok. Jangankan untuk memerhatikan kebutuhan dan keadaannya, mengucap salam dan bertegur sapa pun menjadi hal yang sulit dijumpai.
Kezaliman pada tetangga dengan berbagai ragamnya sangat banyak terjadi. Bahkan membunuh tetangga sering kita dengar di sejumlah berita. Allahu akbar! Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam empat belas abad silam:
 
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَقْتُلَ الرَّجُلُ جَارَهُ وَأَخَاهُ وَأَبَاهُ
 
“Hari kiamat tidak akan dibangkitkan hingga seseorang membunuh tetangga, saudara, dan bapaknya.”

Zalim Kepada Tetangga Lebih Berat di Sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan atas hamba-Nya segala bentuk kezaliman. Tetapi kezaliman kepada tetangga jauh lebih berat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada kezaliman kepada selain mereka. Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anahu salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan:
 
سَأَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ عَنِ الزِّنَى، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ. وَسَأَلَهُمْ عَنِ السَّرِقَةِ، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَسْرِقَ مِنْ عَشْرَةِ أَهْلِ أَبْيَاتٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ
 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang zina? Mereka mengatakan: “Zina itu haram, telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian beliau bersabda: “Sungguh seseorang berzina dengan sepuluh wanita lebih ringan baginya daripada berzina dengan istri tetangganya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa pendapat kalian tentang mencuri?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, mencuri adalah haram.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh seseorang mencuri dari sepuluh rumah lebih ringan atasnya daripada mencuri dari rumah tetangganya.”10
Di kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa menyakiti tetangga adalah sebab terjerumusnya seseorang dalam neraka meskipun dia adalah ahli ibadah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu berkata:
 
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
 
Dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah sesungguhnya fulanah senantiasa melakukan shalat malam, berpuasa di siang hari, banyak beribadah dan bersedekah, tetapi dia selalu menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada kebaikan pada dirinya, dia termasuk penghuni neraka.”11
Bahkan dalam sabda yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan keimanan dari orang yang berbuat zalim kepada tetangganya. Abu Syuraih radhiyallahu ‘anahu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
 
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Rasul ditanya: “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.”12
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil akan haramnya berbuat zalim kepada tetangga, baik dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Di antara kezaliman dalam bentuk perkataan adalah memperdengarkan kepada tetangga suara yang mengganggu, seperti radio, televisi, atau suara sejenis yang mengganggu. Sesungguhnya hal ini tidaklah halal, meskipun yang diperdengarkan adalah bacaan Al-Qur`an, (selama itu) mengganggu tetangga berarti dia telah berbuat zalim. Maka tidak halal baginya untuk melakukannya.13
Adapun (kezaliman dalam bentuk) perbuatan, seperti membuang sampah di sekitar pintu tetangga, mempersempit pintu masuknya, atau perkara semisalnya yang merugikan tetangga. Termasuk dalam hal ini adalah jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain di sekitar tembok tetangga, ketika dia menyirami, (airnya berlebih hingga) melampaui tetangganya. Ini pun sesungguhnya termasuk kezaliman yang tidak halal baginya.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 2/178)
Meninggalkan kezaliman atas tetangga adalah pokok yang sangat penting dalam bermuamalah dengan tetangga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan kita dari segala bentuk kezaliman yang pada hakikatnya adalah kegelapan di hari kiamat. Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 
“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.”14

Berbuat Baik Kepada Tetangga dan Menempuh Segala Sebab yang Mendatangkan Kebaikan Kepadanya
Dalil bagi pokok kedua adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
 
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berbuat baiklah kepada tetangganya.”15
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita berbuat baik dan mencintai orang-orang yang berbuat baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
 
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
Berbuat baik tidak terbatas pada manusia, bahkan kepada hewan, syariat Islam pun memerintahkannya.16
Di samping perintah yang bersifat umum, secara khusus Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa ihsan kepada mereka termasuk dari iman dan syarat kesempurnaan iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
 
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Hadits ini menunjukkan wajibnya memuliakan tetangga, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya’.”
Memuliakan dalam hadits ini bersifat mutlak (mencakup segala bentuk pemuliaan). Maka (perlu) dikembalikan kepada ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Terkadang pemuliaan terwujud dengan cara mengunjungi tetangga, mengucapkan salam dan bertamu kepada mereka, bisa jadi dengan cara memberinya hadiah-hadiah. Masalah ini dikembalikan kepada ‘urf. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah hal. 201-203)
Keterangan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu sangat berharga dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat. Adat masyarakat yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat seharusnya diperhatikan dalam mewujudkan keharmonisan hidup bertetangga, terlebih jika adat tersebut memberi nilai positif bagi dakwah tauhid.
Sebagai misal, dalam adat masyarakat Jawa, dikenal adanya bahasa halus yang digunakan sebagai bentuk penghormatan yaitu “krama inggil”. Biasanya bahasa ini digunakan untuk mengajak bicara orang yang lebih tua atau dihormati. Maka termasuk ikram (memuliakan) kepada tetangga –allahu a’lam– adalah mengajak bicara mereka dengan bahasa “krama”, sebagai bentuk penghormatan, apalagi tetangga yang sudah berumur.
Demikian pula adat-adat lain, selama adat tersebut tidak menyelisihi syariat dan termasuk perbuatan baik maka adat tersebut masuk dalam bentuk pemuliaan yang disebut secara mutlak dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Pembaca rahimakumullah, di pengujung pembahasan pokok kedua ini, perlu kiranya kita menengok beberapa bentuk pemuliaan yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya yang mulia. Di antara bentuk pemuliaan adalah:
a. Membantu kebutuhan pokok tetangga yang membutuhkan jika dia memiliki kelebihan.
Membantu kebutuhan pokok tetangga seperti makan jika mereka kelaparan atau pakaian jika mereka telanjang hukumnya wajib, apabila dia memiliki kelebihan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
 
“Tidaklah beriman seorang yang kenyang sementara tetangganya lapar di sisinya.”17
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada dalil yang jelas tentang haramnya orang kaya membiarkan tetangga-tetangganya dalam keadaan lapar. Oleh karena itu wajib atasnya menyuguhkan kepada mereka sesuatu yang bisa menghilangkan lapar. Demikian pula memberi pakaian jika mereka telanjang dan yang semisalnya dari kebutuhan-kebutuhan yang dharuri (bersifat pokok).
Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwasanya ada kewajiban lain pada harta selain zakat. Maka janganlah orang-orang kaya menyangka telah bebas dari kewajiban hanya dengan mengeluarkan zakat setiap tahunnya. Bahkan ada kewajiban-kewajiban lain atas mereka dalam situasi dan kondisi tertentu yang wajib mereka tunaikan. Jika tidak, mereka akan masuk dalam ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
 
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35) [Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/280-281]
b. Mempersilakan tetangga memasang kayu pada temboknya selama tidak merugikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبةً فِيْ جِدَارِهِ
 
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian menghalangi tetangganya untuk memasang kayu di temboknya.”18
Makna hadits ini sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu: “Jika tetanggamu hendak mengatapi rumahnya dan (dia perlu) meletakkan kayu pada tembokmu, maka tidak boleh bagimu melarangnya. Karena (keberadaan) kayu tersebut tidak membahayakan, bahkan akan memperkuat (tembok) dan mencegah aliran air dengannya.
Terlebih (konstruksi) bangunan tempo dulu di mana rumah-rumah dibangun dengan tanah yang dipadatkan, maka keberadaan kayu justru akan mencegah mengalirnya air hujan pada tembok ....”19
Permasalahan memasang kayu serupa dengan keputusan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu ketika terjadi sengketa antara Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu dan tetangganya.
Ketika itu (Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu) bermaksud mengalirkan air menuju kebunnya akan tetapi terhalangi kebun tetangganya (sehingga air tidak mungkin dialirkan kecuali harus melewati kebun tersebut). Tetangga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu (bersikeras) menghalanginya untuk membuat aliran di atas tanah kebun miliknya. Maka keduanya mengangkat permasalahan kepada Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu. ‘Umar berkata: “Demi Allah jika engkau menghalangi, aku akan mengalirkan air melalui perutmu, dan aku perintahkan dia untuk mengalirkan air.”
(Keputusan ini) karena mengalirkan air melalui tanah kebun tidaklah merugikan, bahkan kebun yang dilaluinya akan mendapat manfaat dengan aliran tadi. Terkecuali jika memang si pemilik kebun hendak membangun bangunan di atas tanahnya dan tidak memungkinkan untuk mengalirkan air di atasnya, maka tidak mengapa baginya untuk melarang. (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/179-180)
c. Memberi hadiah kepada tetangga, seperti memperbanyak kuah ketika memasak.
Memberi hadiah atau bingkisan kepada tetangga termasuk kebaikan yang diwasiatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saling memberi hadiah adalah salah satu sebab di antara sebab-sebab terwujudnya cinta dan kasih sayang. Sampai-sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anahu:
 
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَ الْمَرَقَةِ وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ أَوِ اقْسِمْ فِي جِيرَانِكَ
 
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak gulai, perbanyaklah kuahnya, perhatikan tetanggamu, dan bagilah untuk tetanggamu.”20
Demikian beberapa teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbuat baik kepada tetangga. Tiga contoh di atas bukanlah pembatasan mengingat banyaknya bentuk ihsan (berbuat baik). Maka seharusnya seorang muslim berusaha mewujudkan hal ini dengan berbagai bentuk kebaikan, baik ucapan atau perbuatan, seperti memenuhi undangan, memberikan nasihat, berdakwah, berziarah (berkunjung), menjenguk di kala sakit atau menutup aib-aib, juga segala bentuk kebaikan menurut adat yang berlaku selama tidak bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pembaca rahimakumulah, ketahuilah bahwa berbuat baik kepada tetangga termasuk pokok dakwah yang diserukan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Dan di antara pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah .... mereka memerintahkan yang ma’ruf dan melarang kemungkaran, sesuai yang dituntunkan syariat. Mereka memerintahkan berbakti kepada orangtua, menyambung kekerabatan, dan berbuat baik kepada tetangga.” (Muqaddimah Al-Qaulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid hal.35)
Begitu besar hak tetangga hingga Jibril q senantiasa mewasiatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tetangga. Beliau bersabda:
 
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
 
“Senantiasa Jibril mewasiatiku dengan tetangga hingga aku menyangka bahwa tetangga akan mewarisi.”21

Akhlak Mulia adalah Keharusan dalam Dakwah
Akhlak mulia sangat dibutuhkan dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat, bahkan dia adalah keharusan dalam dakwah. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang dipenuhi kelembutan dan kasih sayang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang sangat lembut dan dekat dengan umatnya. Bahkan rumah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu terbuka tanpa penjaga pintu, tidak sebagaimana kebiasaan raja-raja dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya:
 
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
 
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Dakwah akan diberkahi dengan tauhid dan akhlakul karimah. Janganlah akhlak yang buruk justru menjadi sebab manusia lari dari kebenaran. Sungguh menggembirakan kala kita mendengar banyak ma’had-ma’had (pondok-pondok pesantren, red.) Ahlus Sunnah berdiri di negeri yang sedang dilanda berbagai badai fitnah. Namun perlu diingat bahwa perkembangan tadi harus dihiasi dengan akhlak mulia. Jalinlah hubungan baik dengan masyarakat terutama tetangga. Berziarahlah (berkunjunglah) kepada mereka dengan adab-adab Islam. Jangan menjadikan kaum muslimin yang awam akan agama sebagai musuh. Justru mereka merupakan lahan dakwah yang membutuhkan tetesan kasih sayang.
Pembaca rahimakumullah, kita akhiri majelis ini dengan sebuah wasiat bagi seluruh muslimin untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kembali menelaah serta meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah jalan kebahagiaan dan kejayaan. Inilah jalan kemenangan dan manhaj kehidupan, untuk menggapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan cinta-Nya. Wallahu a’lam.
Washallalahu ‘ala Muhammad wa alihi wa shahbihi. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

1 Beliau adalah Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anahu, bertemu nasabnya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’b bin Lu`ai. Beliau meninggal tahun 65 H.
2 Yakni Haiwah bin Syuraih dan Ibnu Lahi’ah.
3 Hadits ini juga datang dari jalan Abdulah bin Yazid Al-Muqri` di mana dia mendengar hadits Ibnu Lahi’ah sebelum kitab-kitabnya terbakar dan sebelum hafalannya berubah.
4 Faedah: Riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ada dua kerancuan. Pertama: Al-Hakim mengganti Syurahbil bin Syarik dengan rawi lain yaitu Syurahbil bin Muslim. Kedua: Perkataan Al-Hakim: “Hadits ini shahih menurut syarat Asy-Syaikhain” tidaklah tepat, karena Syurahbil bin Muslim meskipun tsiqah, tetapi Muslim tidak mengeluarkan haditsnya dalam Ash-Shahih. Adapun Syurahbil bin Syarik hanya dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan tidak dikeluarkan haditsnya oleh Al-Bukhari. Lihat As-Shahihah (1/212). Al-Mundziri dalam At-Targhib Wat-Tarhib (3/360) menyebutkan bahwa Al-Hakim menghukuminya sebagai hadits shahih sesuai syarat Al-Imam Muslim, sehingga ada kemungkinan lain bahwa kesalahan bukan dari Al-Hakim, tetapi dari percetakan atau dari penyalin. Allahu a’lam.
5 Beliau adalah Abdul Malik bin Muhammad bin Abdillah bin Bisyran, meninggal 430 H.
6 Al-Bukhari misalnya, beliau kumpulkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan hak-hak tetangga dalam 28 bab khusus dalam Al-Adabul Mufrad, diawali dengan kitab Al-Wushat bil Jar (Wasiat berbuat baik kepada tetangga) dan diakhiri dengan bab Jar Al-Yahudi (Tetangga Yahudi).
7 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 4787.
8 Shahih, diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (10/26-31) dengan tahqiq Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu. Beliau berkata: “Sanadnya shahih.” Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/75-76) dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu.
9 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Bab Al-Jar As-Suu` dari hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anahu.
10 Shahih, diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/8), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 103), dan Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir (20/605).
11 Shahih, diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad (2/440), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 119).
12 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 6016 dan Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (4/31 dan 6/385).
13 Terlebih jika tetangga dalam keadaan sakit, suara-suara keras termasuk bacaan Al-Qur`an membuatnya tidak bisa beristirahat. Lalu bagaimana jika yang diperdengarkan adalah suara-suara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan seperti musik dan sejenisnya? Sungguh, dosa di atas dosa!
14 Muttafaqun ‘alaihi dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu.
15 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 102
16 Sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan untuk berlaku baik terhadap segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh berlaku baiklah dalam membunuh dan apabila kalian menyembelih berlaku baiklah dalam menyembelih. Dan hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.” (HR. Muslim) dalam Ash-Shahih (13/1955) dengan syarah An-Nawawi dari hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anahu.
17 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 112 dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/278) hadits no. 149.
18 HR. Al-Bukhari no. 3463 dan Muslim no. 1609 dalam Shahih keduanya.
19 Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata: “Mazhab Al-Imam Ahmad bahwasanya seseorang harus baginya mempersilakan tetangganya meletakkan kayu pada temboknya jika tetangga membutuhkan dan tidak membahayakan tembok, berdasar hadits yang shahih ini.” (Jami’ Al-’Ulum wal Hikam, 1/352)
20 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 114


Sumber......http://www.asysyariah.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More